//
you're reading...
Philosophy, Religion

Tuhan: Subjektivitas Ide dan Benda

Si quidem deus est, unde mala? Bona vero unde, si non est?[1]

             “Apabila ada Tuhan, darimana datangnya hal-hal buruk? Tetapi darimana hal-hal baik, kalau Ia tidak ada?” Demikian arti dari kutipan Boethius di atas. Pertanyaan ini memukul telak agama dan ateisme. Kebaikan memang ada, tapi bagaimana lalu ia mampu disejajarkan dengan kejahatan dalam perspektif Tuhan? Apakah sebenarnya manusia mampu melihat semua yang dikerjakan oleh Tuhan, ataukah itu hanyalah sekedar perspektif manusia atas Tuhan? Manusia memang terbatas, namun pikirannya terus ingin mencari tahu. Keraguan dalam agama pun muncul dalam mengatasi pandangan Tuhan atas manusia dan sebaliknya. Bagaimana agama yang katanya mengerti tentang Tuhan mampu mengatasi konflik dan penderitaan saat ini? Kalaupun tidak dengan agama, mampukah manusia memahami Tuhan? Tuhan memang tidak bisa dilihat secara inderawi, namun dengan demikian bukan berarti Tuhan tidak ada. Banyak orang mengatakan bahwa Tuhan ada dalam pikiran manusia saja, lalu bagaimana Tuhan bisa dibuktikan dalam pengamatan inderawi? Mungkinkah Tuhan dalam postulatm ruang dan waktu oleh agama menjawab semuanya? Jawabannya tentu tidak, karena agama pun adalah hasil pikiran manusia. Ia memiliki kontradiksi baik dan buruk di dalamnya, bahkan banyak perdebatan antara nilai dogmatis agama dan sisi kehidupan manusia.

 

Metafisika Tuhan

Metafisika mencoba memahami realitas fundamental dari segala sesuatunya. Dengan memahami, manusia tidak hanya terbatas pada pengetahuan fisik semata. Metafisika pada awalnya memang berangkat dari realitas fisik dan kemudian melampauinya, tapi itu bisa saja berlangsung sebaliknya. Proses saling melengkapi antara kedua hal itulah yang menjadi inti dari metafisika. Metafisika menyiratkan bahwa segala hal yang ada di dunia ini pada dasarnya adalah abstrak.[2] Segala hal perlu untuk dipertanyakan kebenarannya hingga suatu batas pertanyaan asali. Realitas ini bukannya tidak lagi dipertanyakan, namun dasar itu akan selalu dicari. Metafisika lebih merupakan proses untuk mencari sesuatu yang paling dasar. Ia tidak akan memberikan jawaban tertentu karena pada dasarnya kebenaran itu relatif. Setiap argumentasi yang disertai logika yang benar memang akan menuju pada suatu metafisika, namun tetap saja itu tidak tunggal. Suatu argumentasi akan menuju pada suatu titik, demikian dengan argumentasi yang lainnya. Maka benar kiranya bahwa metafisika tidak menuju pada ketunggalan, tapi keragaman itu tetap ada. Hal itu pun akan terus menjadi perdebatan selamanya. Tentang kebenaran, hal ini tidak akan lekang oleh waktu, bahwa kebenaran tunggal itu adalah salah, namun hal itu pun tidak mematahkan ide bahwa kebenaran itu ada.

Metafisika pada dasarnya adalah mengandaikan sesuatu berdasar pada rasionalitas. Segalanya mungkin bila dipikirkan oleh manusia menurut metafisika, demikian pula dengan Tuhan. Ada suatu pandangan yang mengatakan bahwa Tuhan itu adalah materi dan dekat dengan kenyataan. Pandangan ini bertumpu pada keberadaan konsistensi penciptaan Tuhan dan Tuhan yang ada dalam materi itu sendiri. Di sisi lain, pandangan abstrak mengatakan bahwa Tuhan itu ada dalam tatanan ide, bahwa ia ada sejauh dipikirkan. Dalam hal ini, Tuhan menemukan bentuk utamanya yang universal dan objektif, yang tidak terbatas hanya pada tatanan materi nyata saja. Kedua metafisika dalam materialisme dan idealisme tersebut memandang Tuhan dalam dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhan dalam dirinya sendiri, maka realitas fundamentalnya pun dapat dipahami. Maka, bukan dengan menerima saja pengalaman yang didapat orang lain itu sudah baik, namun dengan berfokus pada pengalaman sendiri dalam pengecekan atas nalar itu menjadi bagian yang penting.

Proses metafisika di atas menunjukkan dua hal; bahwa bukan hanya evolusi dari sisi material ke ide, namun juga involusi dalam perdebatan sengit antara materialisme dan idealisme. Di sisi involusi materialisme, apa yang ada hanyalah materi belaka, bahwa sisi ide akan terpatahkan bila ia tidak dapat dibuktikan dengan pengamatan inderawi. Demikian pula dengan idealisme dalam tatanan evolusi, bahwa tatanan ide lah yang utama, bahwa segala hal dimulai dari pikiran manusia. Semua hal yang dipikirkan manusia adalah ada, maka ia ada. Kedua hal ini bertumpu pada satu hal; keadaan ‘ada’ (being). Metafisika mempertanyakan apa yang sebenarnya ada dibalik suatu hal; bahwa suatu hal itu ada, bukan berarti bahwa itulah yang juga ada di balik hal tersebut. Sesuatu hal itu adalah sesuatu yang ada, namun dirinya tidak mampu hanya dilihat dari luarnya saja, maka perlu dipahami realitas fundamentalnya untuk memahami dirinya sendiri. Selain itu, bahwa keberadaan Tuhan tidak selalu harus diterima begitu saja asal dia terlihat dalam materi, namun peneguhan abstrak rasional itu juga penting. Hal ini diperlukan untuk menjernihkan ambiguitas akan Tuhan, inilah tugas metafisika.

 

Tuhan dan Manusia: Ada Dalam Dirinya Sendiri

Mengenai Tuhan, manusia berpikir bahwa ada sesuatu yang melampaui dirinya. Sesuatu itu ada dijawab hanya dari bagaimana manusia memikirkanNya. Jawaban itu terletak pada pengalaman dan pemikiran. Manusia tidak memiliki pengalaman atas Tuhan, namun ia memikirkan Tuhan. Dari premis ini tidak bisa disimpulkan bahwa Tuhan tidak ada. Pengalaman dan pemikiran memang terbatas, namun ini menunjukkan keterbatasannya tersendiri. Manusia melihat bahwa dirinya adalah besar beserta segala pengalaman dan pemikirannya, namun bukan berarti ia berhenti. Dari keterbatasan manusia itulah lalu muncul ketidakterbatasan. Manusia tidak hanya hidup secara positif saja, namun ia juga menidak. Jika ada sesuatu yang terbatas, maka mungkin ada yang tidak terbatas. Keterbatasan manusia pun menunjukkan bahwa ia tidak mengalami keajegan, berarti juga ada yang ajeg. Dilihat dari pengalaman dan pemikiran, keduanya saling berkaitan dan melengkapi, itu pun terkadang tidak cukup, berarti mungkin saja ada sesuatu yang mutlak yang tidak lagi bergantung pada apapun. Ia ada dalam dirinya sendiri, maka ia pun perlu dipahami demikian.

Dalam sisi metafisika, Tuhan pun dibuktikan demikian; bahwa ada sesuatu di balik segala sesuatunya, bahwa kebenaran itu adalah relatif karena tidak ada yang mutlak benar. Benarkah demikian? Kalau demikian, metafisika hanyalah omong kosong karena bila banyak kebenaran, maka kebenaran itu pun sesungguhnya tidak ada, namun ternyata tidak demikian. Dalam pandangan metafisika, pertanyaan repetitif itu memang penting, tapi itu menjadi tidak bermakna bila tidak menemukan dasarnya. Seperti mata rantai, bila ia terus dikaitkan ke bawah tanpa suatu mata rantai utama yang bergantung pada suatu hal, maka ia pun akan jatuh.[3] Dalam hal ini, bila mata rantai itu jumlahnya tak terhingga, maka mata rantai utama yang bergantung itu adalah mutlak mampu menahan semua rantai itu, maka itulah Tuhan yang mutlak.

Demikian pula dengan pengalaman dan pemikiran yang adalah relatif. Keduanya menunjukkan relativitas dan kontradiksi. Pengalaman dan pemikiran bisa saja salah dan keduanya pun bisa saling menjatuhkan. Pengalaman mencerminkan ruang dan pemikiran mencerminkan waktu. Pengalaman merasakan apa yang terlihat dalam pandangan manusia dan pemikiran memikirkan hal yang abstrak layaknya waktu yang ada namun tidak terlihat. Kedua hal ini terbatas dan tidak mampu menjelaskan segala hal. Semuanya relatif dan tidak bisa dipastikan karena semua berubah. Kalau dua hal itu mudah berubah, berarti ada hal yang tidak berubah. Ada mitos yang dipercayai bersifat melampaui kedua hal tersebut, itulah Tuhan. Mitos itu mutlak absurd dan tidak terbatasi ruang dan waktu. Ia tidak memiliki nilai dan tidak kontradiktif karena ia hanya ada dalam dirinya sendiri. Ia tidak relatif karena tidak bergantung pada apapun dan adalah inti dari segalanya. Maka Ia pun tidak bisa dikatakan berada di suatu tempat karena Ia melampaui syarat-syarat keberadaannya. Ia sekaligus tidak terbatasi oleh waktu, maka tidak dapat pula dikatakan bahwa Tuhan tidak ada bila tidak dipikirkan manusia. Manusia adalah terbatas dan Tuhan tidak. Tuhan tetap ada karena Ia ada, bukan karena Ia dipikirkan oleh manusia saja, bahkan ketika semua alam semesta ini hancur, Ia tetap ada.

Dengan demikian, Tuhan pun tidak bisa dikatakan baik atau buruk karena Ia adalah absurd. Ia adalah nihil. Sisi baik dan buruk adalah nilai manusia dan melabeli Tuhan dengan pandangan manusia hanya akan merendahkan Tuhan. Seperti kata Feuerbach, teologi pada dasarnya adalah antropologi karena terlalu melihat Tuhan secara antropomorfis dalam predikat manusia.[4] Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa beragama salah, beragama perlu berjalan bersama rasionalitas sehingga apa yang dipercayai sebagai mitos dapat masuk akal untuk dipercayai.

 

Metafisika dan Subjektivitas

Berpikir mengenai Tuhan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas berpikir manusia. Aktivitas inilah yang menjadi pusat dari metafisika. Memahami Tuhan tidak cukup dilakukan hanya dengan memahami dogma agama, namun memahami diriNya secara rasional itu diperlukan. Fichte mengatakan bahwa subjektivitas adalah inti dari manusia itu sendiri dan dengan ini pula manusia melihat dunia. Pada tesisnya, manusia ada dan memahami dirinya sendiri lalu ia berhadapan dengan apa yang berbeda dengan dirinya. Maka manusia lalu berkesimpulan bahwa ia tidak sendirian, bahwa ada yang lain di luar dirinya, dengan demikian ia pun berhadapan dengan dunia melalui perbedaan atas kesatuan tersebut.[5] Dalam sebuah logika, keterbatasan ego manusia bertemu dengan ego yang lain yang juga terbatas, maka pasti ada yang tidak terbatas yang melampaui itu semua. Itulah yang mutlak, yaitu Tuhan.

Benar bahwa manusia memahami dunia menurut egonya sendiri, namun ini tidak sekaligus meneguhkan bahwa Tuhan hanya merupakan proyeksi pikiran manusia. Manusia memahami hal di luar dirinya karena ada kesadaran akan hal tersebut.[6] Pada sisi inilah metafisika menemukan dirinya. Manusia memiliki hasrat untuk memahami yang fundamental, maka yang fundamental itu sudah ada sebelumnya meskipun belum dipikirkan manusia. Kesadaran manusia lah yang memikirkan yang lain dan menemukan realitas itu. Karena hal ini pula, manusia sering merasa menemukan sesuatu yang baru padahal tidak demikian karena pada dasarnya hal itu sudah ada sebelum dijadikan fokus pemikirannya.

Subjektivitas manusia mengantarkan manusia dari dirinya yang terbatas menuju sesuatu yang tak terbatas. Jika ia mampu memahami dirinya sendiri, maka realitas yang lain pun akan dipahaminya. Keterbatasan manusia tidak lantas menjemukan dirinya dan hanya terbatas pada keakuan saja. Manusia memahami sesuatu transenden yang “bukan-aku” yang tidak diciptakan oleh “aku”.[7] Manusia imanen dalam dirinya sendiri, namun ketika ia memandang Tuhan, transendensi itu menjadi tujuannya. Melalui Tuhan yang telah melampaui manusia, manusia mampu mengidentifikasi dirinya sebagai “aku”. Misalnya tentang pilihan, manusia terkadang mengatakan bahwa Tuhan tidak memberikannya pilihan, lalu apakah manusia tetap ada? Manusia tetap ada bukan karena pilihan itu sendiri, namun karena manusia sadar bahwa ia memiliki pilihan. Manusia mendang sesuatu yang ada di luar dirinya dengan merefleksikan hal itu ke dalam dirinya sendiri.

Lalu apakah sebenarnya manusia mampu memahami segalanya tentang Tuhan? Tidak, karena manusia bukan Tuhan. Jika manusia ingin memahami Tuhan seutuhnya dalam diriNya sendiri, ia harus menjadi Tuhan dan itu tidak mungkin. Manusia adalah terbatas dan imanen sedangkan Tuhan adalah tak terbatas dan transenden. Manusia mungkin mampu menyadari realitas akan Tuhan dari pikirannya yang telah melampaui egonya, namun Tuhan tetap tidak bisa dipandang hanya dari sisi ruang dan waktu pikiran manusia. Tuhan pada dasarnya adalah absurd dan nihil, sedangkan manusia adalah entitas yang penuh dengan nilai, maka manusia tidak dapat disamakan dengan Tuhan.

Manusia memahami Tuhan dalam rangka pencarian sesuatu yang tetap. Manusia berusaha mengenal Tuhan melalui akal budi, bukan melalui eksistensinya, namun dengan memahami esensi dari pengada itu sendiri. Metafisika menyediakan jalan untuk menuju pada Tuhan dengan memahami realitas utama dari segala sesuatunya. Sisi materi ataupun ide hanya menjadi jalan menuju Tuhan sebagai bentuk pengandaian pikiran manusia. Pengandaian itu lalu mengarah pada konsep dan substansi Tuhan yang tetap sehingga ia menemukan relaitas itu. Hal ini tidak berhenti begitu saja, karena penafsiran akan segala sesuatunya akan selalu berjalan, maka pemahaman akan suatu kebenaran pun akan selalu berbeda. Meskipun demikian, hal ini tetap tidak mematahkan ide bahwa memahami Tuhan itu perlu.

 

Referensi:

Hadiwijono, Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius:Yogyakarta.

Heidegger, Martin, 2000, Introduction to Metaphysics (translated), Yale Nota Bene:London.

Suseno, Franz Magnis, 2006, Menalar Tuhan, Kanisius:Yogyakarta.

Tjahjadi, Simon Petrus Lili, 2004, Petualangan Intelektual, Kanisius:Yogyakarta.


[1] Franz Magnis Suseno, 2006, Menalar Tuhan, Kanisius:Yogyakarta, hal. 228.

[2] Martin Heidegger, 2000, Introduction to Metaphysics (translated), Yale Nota Bene:London, hal. 5.

[3] Suseno, Op. Cit., hal. 123.

[4] Suseno, Op. Cit., hal. 66.

[5] Harun Hadiwijono, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius:Yogyakarta, hal. 89.

[6] Simon Petrus Lili Tjahjadi, 2004, Petualangan Intelektual, Kanisius:Yogyakarta, hal. 304-305.

[7] Tjahjadi, Op. Cit., hal. 309-310.

About rommelpasopati

common people with different uniqueness... ask me to be beyond and nihil... find me in your dreams...

Discussion

No comments yet.

Leave a comment