//
you're reading...
Philosophy

Louis Althusser: Antara Ideologi dan Kesadaran

Ideology has very little to do with ‘consciousness’ – it is profoundly unconscious.

(Louis Althusser)

 

            Louis Althusser adalah seorang posmodernis (strukturalis) Perancis yang mendasarkan pemikirannya pada Marx dengan melihat nilai-nilai ideologis di dalamnya. Pemikiran Marx didasarkan atas nilai-nilai ekonomi dan kapitalisme, demikian pula dengan Althusser. Status kepemilikan modal menjadi bagian penting dalam pemikiran Althusser, terutama ketika terjadi perubahan kepemilikan modal dari individu borjuis kepada negara.[1] Faktor ekonomi menjadi faktor utama perubahan sosial dalam supra struktur dan basis terkait pemikiran Marx. Pada sisi inilah ideologi memengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi dalam kesadaran manusia. Manusia sadar dalam menentukan sikap dan keputusannya terhadap modal, seperti dilakukan negara, namun mereka tidak sadar akan adanya struktur yang secara relatif membentuk aktivitas tersebut.[2] Oleh karena pembahasannya akan struktur, Althusser sering pula dipandang sebagai seorang strukturalis yang menganalisis Marx dan struktur kapital, meskipun ia sendiri menolak disebut itu.

 

Absolut dan Relatif

Pemikiran Althusser bertumpu pada sisi nyata kehidupan manusia dengan mengabaikan metafisika. Metafisika hanya dianggap sebagai candu, sama seperti Marx, yang lalu ingin membenarkan segalanya dan menjawab semua pertanyaan. Althusser pun tidak sepenuhnya setuju pada Marx. Jika Marx menyatakan bahwa sisi ekonomi adalah suatu determinisme dalam struktur dasar, Althusser menyanggahnya dengan mengatakan bahwa struktur dasar itu tidak terlalu memengaruhi supra struktur.[3] Althusser tidak sepenuhnya menyanggah Marx karena ia berangkat dari pemikiran Marx, namun ia berpandangan bahwa aspek ekonomi hanyalah sekedar relatif dalam dunia supra struktur. Tatanan kehidupan dipengaruhi oleh suatu aspek perantara yang mengatasi kedua struktur tersebut. Dengan demikian, Althusser menolak determinisme ekonomi pula seperti digagas Marx.

Aspek perantara yang relatif tersebut adalah ideologi. Aspek perantara ini bukan berarti berada di tengah-tengah, namun ia lebih pada penunjukan diri di dalam basis dan supra struktur.[4] Dalam hal ini, Althusser menyatakan ideologi dalam interpretasi atas gagasan ekonomi yang nyata dipergunakan untuk kepentingan manusia. Ideologi ini sudah penuh dengan tafsir sepihak dari manusia yang secara otomatis juga berdampak pada dunia kedua struktur di atas. Dalam hal ini, ideologilah yang membentuk struktur itu sendiri. Manusia sebagai makhluk yang reflektif tidak mencerna ide secara langsung, namun melalui tafsir-tafsir yang dibentuk dan sekaligus membentuk manusia. Pada sisi inilah kondisi sosial tersusun dalam struktur tafsir melalui tingkatan-tingkatan otonom sosial budaya dengan berpusat pada ekonomi.[5] Tafsir ini secara jelas dalam totalitas kehidupan legal formal dinyatakan sistematis dalam sistem negara. Sistem negara adalah suatu sistem publik yang mengatur hidup bermasyarakat. Sistem ini dibentuk melalui ide akan adanya keluarga, pendidikan, agama, serta kepentingan bersama. Bukan hanya bersifat vertikal dari keluarga mengarah pada negara atau sebaliknya, dalam hal ini ideologi membuat sistem negara menjadi sistem yang kompleks yang sekaligus menjadikan segala aspek manusia terhubung.

Althusser membedakan dua konsep tentang ideologi; Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA).[6] RSA lebih menunjuk pada aktor-aktor yang berperan penting menginterpretasikan sekaligus mengaplikasikan ideologi antar sesama manusia. Pada aspek ini, Althusser memandang RSA sebagai pemilik kuasa represif untuk dengan tegas menerapkannya pada setiap warga negara. ISA mengarah pada ideologi itu sendiri yang masuk ke dalam setiap kehidupan manusia. Ideologi ini terangkum dalam aspek keagamaan, pendidikan, hukum, keluarga, politik, komunikasi, serta moralitas.[7] Pada sisi ini, Althusser menekankan sisi produksi dan reproduksi material dalam ideologi. Produksi tidak mungkin ada tanpa reproduksi karena proses pembentukan memerlukan sesuatu untuk dibentuk. Hubungan antar manusia menjadi basis penting dalam ideologi, bukan hanya sekedar pemilik modal dan buruh, melainkan juga antara pemilik kuasa ideologis dan sasaran ideologis itu sendiri. Setiap ada proses produksi ideologis, maka disitu pula ada reproduksi ideologis yang digunakan untuk melanggengkan ideologi itu sendiri. Dengan demikian, bukan hanya sikap antar manusia yang menjadi fokus dari ideologi, melainkan juga tatanan sosial yang terus-menerus membentuk ulang ideologi itu. Althusser menyebutnya sebagai overdeterminasi guna mengatasi ketunggalan esensi ekonomi dalam ideologi.[8] Proses produksi dan reproduksi memang berasal dari aspek ekonomi, namun dalam perkembangannya, ideologi menjadi suatu esensi otonom yang bukan hanya merengkuh sisi ekonomi, namun juga sosial budaya. Proses ekonomi ini memang tidak langsung terungkap dalam ideologi atau kesadaran, melainkan muncul sebagai akibatnya dalam bentuk realitas sosial akan gagasan-gagasan.

Sebagai contoh, dalam sebuah keluarga, anak tentu diwajibkan untuk patuh kepada orang tua. Hal ini bukan hanya sekedar sisi ekonomi, misalnya karena orang tua memberikan sangu kepada anak lalu anak harus menurutinya. Demikian pula dengan keinginan orang tua kepada anak supaya bisa memberi uang yang banyak kepada mereka. Para pemikir humanis dan historis mengandalkan aspek cinta kasih dalam hubungan ini, bahwa karena anak telah dilahirkan dan dirawat oleh orang tua maka anak sudah seharusnya mematuhi perintah orang tua. Jika demikian, maka seharusnya semua perlakuan anak kepada orang tua ataupun sebaliknya adalah seragam dengan keluarga yang lainnya, namun mengapa ada anak yang tidak patuh kepada orang tua atau ada orang tua yang sampai tega membunuh darah dagingnya sendiri? Ataupun juga jika hubungan ini dilandaskan atas cinta kasih, lalu mengapa didikan orang tua ada yang berhasil dan tidak? Melalui penjelasan Althusser, kasus ini bukan dalam pandangan humanis dan historis, melainkan dengan kacamata ideologis. Dalam mendidik anak, orang tua menerapkan ideologinya kepadanya. Ia secara tidak langsung dipaksa untuk meniru apa yang diperbuat orang tuanya baik secara langsung maupun tidak. Dalam hal ini, pengalaman berperan penting dalam sisi ideologis. Bisa saja orang tua itu tidak tahu cara mendidik anak yang tepat karena ia dulu juga diperlakukan tidak tepat oleh orang tuanya. Selain itu, bisa saja ada faktor eksternal ideologi lain yang menginterupsi internalisasi orang tua kepada anak, misalnya saja pergaulan dengan teman dan lingkungan sekitar. Pendidikan anak oleh orang tua ini bukan hanya dalam sisi keluarga secara eksklusif saja, namun juga dibentuk oleh nilai-nilai lain misalnya agama dan komunikasi. Seorang anak biasanya menganut agama yang sama dengan orang tuanya karena orang tua secara tidak langsung menginternalisasikan nilai agama kepada anaknya. Mungkin saja orang tua itu tidak memaksakan suatu agama kepada anaknya, namun proses internalisasi ideologis yang terus menerus tidak disadari menjadi faktor pendorong anak itu untuk memeluk agama yang sama dengan orang tuanya.

 

Kesadaran Palsu dan Ketidaksadaran

Dalam ideologi, sangat sulit untuk membedakan apakah aktor ideologis itu berperan dalam proses produksi dan reproduksi dalam kerangka kesadaran palsu atau ketidaksadaran. Meskipun demikian, kedua hal tersebut sangat berhubungan dan dapat ditelusuri lebih lanjut. Ideologi melihat individu dan tatanan sosial dalam kerangka subjek sekaligus objek. Tidak seperti pandangan subjek terhadap objek menurut Sartre, ideologi memandang individu sebagai objek untuk menjadi subjek.[9] Hal ini dikarenakan proses produksi dan reproduksi yang selalu berjalan sekaligus. Ketika individu menerapkan suatu ideologi kepada yang lain, ia pasti telah menginternalisasi ideologi dari yang lain sebelumnya. Dalam hal ini, ideologi membangkitkan individu untuk menjadi subjek dengan sekaligus mengobjekkannya layaknya barang produksi dan reproduksi.[10] Kesadaran subjek dalam subjektivitas pun dipertanyakan demikian pula dengan objektivitas. Subjek mungkin saja sadar dengan apa yang dilakukannya adalah dalam tatanan ideologis, namun itu adalah kesadaran palsu karena ia tidak sadar telah masuk dalam tatanan ideologis itu sendiri dengan menjadi objek. Tidak ada yang dominan maupun tidak dominan karena ideologi telah masuk sekaligus keluar dari individu.

Ide tentang kesadaran dari para eksistensialis menjadi dipertanyakan karena baik le regard menurut Sartre dan cinta kasih menurut Marcel adalah ideologi itu sendiri. Sartre sangat terpengaruh oleh kondisi keluarga dan lingkungannya yang mengabaikan dirinya sehingga ia menganggap orang lain sebagai neraka bagi dirinya. Demikian pula dengan Marcel, bahwa meskipun cinta kasih itu ada dalam setiap diri manusia, namun ia tidak dapat mengelak bahwa pemikirannya sangat dipengaruhi oleh konteks agama Katolik. Sartre dan Marcel mengatakan bahwa eksistensi manusia adalah menemukan realitas dirinya sendiri. Pada kenyataannya, realitas diri adalah kompleksitas berbagai tatanan ideologis yang membentuknya. Manusia tidak akan mungkin menemukan dirinya sendiri secara utuh karena ia pasti dibentuk dan sekaligus membentuk perbuatan individu lain. Bahkan jika ia menolak suatu ideologi, ia pun akan memunculkan suatu ideologi baru yang terlihat dalam proses reproduksi.

Ideologi, menurut Althusser, adalah representasi imajiner antara individu dan kondisi nyata.[11] Representasi ini adalah materi inderawi ataupun bukan yang membentuk dasar pengambilan keputusan seseorang. Pada sisi ini, manusia telah kehilangan eksistensinya karena ia secara tidak sadar (ataupun sadar secara palsu) telah menginternalisasi ideologi di dalam dirinya. Kalaupun manusia sadar dalam mengambil keputusannya yang didasarkan atas tatanan ideologis lalu menelusurinya, ia pun akan menemukan bahwa titik awalnya juga adalah ideologi. Maka bisa dikatakan ia sebenarnya tidak sadar didalam pengambilan keputusannya karena ia sudah dikuasai oleh ideologi. Dari sisi negara, hal ini pun sama karena pada dasarnya negara adalah represif menurut Althusser. Sikap represif negara itulah yang melanggengkan proses internalisasi ideologi ke masyarakat. Karena negara dianggap sebagai representasi publik dalam sebuah konsensus imajiner, individu pun harus patuh akan tindakan negara. Pada titik inilah RSA juga mencerminkan ISA, bahwa ada keterkaitan erat antara tindakan represif dan ideologi represif itu sendiri. Adanya kepatuhan dari warge negara ke negara bukan semata-mata demi kepentingan publik, namun lebih kepada doktrin ideologis yang pelan-pelan dan secara terus menerus disuntikkan oleh negara.

Althusser menekankan pemikirannya dalam sisi esensial subjek dengan mengesampingkan eksistensi individu dengan bertumpu pada representasi ideologi. Jika eksistensialisme menekankan subjek sebagai eksistensi, maka Althusser menyatakan material sebagai eksistensi ideologi.[12] Struktur ideologi inilah yang setiap saat manusia bicarakan, yang baik secara langsung atau tidak terinternalisasi ke dalam diri manusia. Proses internalisasi ini disebut oleh Althusser sebagai interpelasi melalui bahasa dan citra.[13] Interpelasi ini sangat erat dengan kekuasaan, bukan saja dalam negara, namun juga dalam setiap diri individu. Setiap individu dalam masyarakat telah mengalami praktek sosial yang secara otomatis melibatkan dirinya di dalam struktur tersebut. Proses interpelasi ini tidak dapat dihindari dalam masyarakat, bahkan ketika manusia berpikir akan dirinya sendiri karena individu adalah cerminan dari komunitas sosial yang membentuknya secara ideologis.

Kontroversi Kurikulum Pendidikan 2013 adalah contoh tepat tentang adanya sisi ideologis dalam tata negara. Sebagai representasi negara, Mendikbud tentunya mempunyai kuasa untuk menerapkan kurikulum baru. Secara represif, ia melakukannya dalam kapasitas aparat negara melalui ideologi kurikulum tersebut. Pendidikan memang ranah publik, namun dengan keberadaan ideologi, hal ini dipengaruhi sekaligus memengaruhi sisi privat. Hal ini dikarenakan pendidikan juga menyangkut sistem sosial budaya di masyarakat yang dengan jelas menyentuh ranah individu pelajar. Dalam kasus ini, sikap represif negara sangat terlihat dengan berdalih pada pembentukan sistem pendidikan yang lebih baik. Interpelasi yang dilakukan kepada tatanan legislatif dan masyarakat pun telah dilakukan, namun itu bukan berarti ada perubahan pada rencana kurikulum tersebut. Hal yang terjadi adalah komunikasi sepihak yang dilakukan hanya untuk menyebarluaskan informasi tentang keberadaan rencana kurikulum baru dan bukan diskusi tentang ideologi yang akan diterapkan. Ide yang dianut pemerintah adalah mewujudkan pendidikan yang lebih baik lalu ditafsirkan ke dalam ideologi bentuk kurikulum yang baru. Ideologi ini diterapkan secara represif dengan anggapan bahwa rakyat harus percaya pada pemerintah bahwa ia akan membawa pendidikan di negeri ini ke arah yang lebih baik.

Permasalahan kurikulum ini adalah tentang sisi praktis yang sangat ditonjolkan oleh pemerintah. Pemerintah mengatakan bahwa mata ajaran sudah seharusnya ditujukan untuk mengatasi gap antara lulusan dan pasar tenaga kerja.[14] Pemerintah menyiratkan gagasan bahwa Indonesia harus mampu beradaptasi dengan perekonomian global yang semakin praktis. Dengan berbasis kompetensi, siswa memang akan dibawa pada pengembangan diri, namun jika tanpa pengembangan karakter, itu hanya akan membentuk mereka menjadi manusia yang konsumtif. Mereka akan menjadi pelahap segalanya tanpa ada nilai yang membatasi mereka. Kurikulum ini jelas adalah fokus pemerintah pada pembangunan infrastruktur. Dengan membangun pelajar menuju pada kesiapan di bidang pekerjaan praktis, maka hal ini sejalan dengan program pemerintah yang mengandalkan investasi dalam pembangunan. Padahal jika dianalisis lebih lanjut, analogi investasi adalah seperti bangunan yang besar namun dibangun di atas konstruksi yang lemah. Sistem ekonominya pun adalah mengambang yang sangat bergantung pada fluktuasi pasar. Jika hal ini tidak diimbangi dengan pembangunan karakter, maka dampaknya sudah dapat dilihat dengan contohnya korupsi dan penyelewengan otoritas dimana-mana. Selain itu, sistem yang dikembangkan dalam kurikulum ini adalah mandiri dengan salah satu penekanannya pada entrepeneurship. Hal ini bagus karena mampu membuka lapangan kerja bagi yang lain ketika sudah lulus, namun hal ini tidak begitu saja dapat menyentuh pembangunan di bidang sosial budaya. Hidup bukan hanya tentang mencari kerja demi uang saja, namun ada sisi sosial yang harus diperhatikan. Fokus kurikulum tersebut untuk menambah jam dalam mata ajaran agama juga menjadi hal yang dipertanyakan.[15] Agama memang bagus untuk mengawal moral siswa, namun di sisi lain, dampak ideologis penerapan hal ini begitu besar. Indonesia saat ini penuh dengan pertentangan antar agama terutama yang mayoritas dan minoritas. Bayangkan saja bila sejak kecil seorang anak terlalu banyak diajarkan tentang agama dan bukan konteks kesetiakawanan sosial, maka mereka akan dengan mudah menerapkan stereotype kepada yang lain. Mereka menganggap diri mereka sukses dengan memiliki uang dan berbakti pada agamanya saja, namun bisa dengan mudah mengabaikan orang lain yang berbeda agama dan miskin. Akibatnya, manusia hanya akan hidup setengah-setengah, menganggap bahwa hanya dengan memberikan sumbangan dalam ketetapan agama dianggap sudah cukup. Belum lagi ditambah dengan perbedaan ras, suku, budaya, dan lain-lain. Mereka bisa saja menjadi mandiri, namun juga dengan mudah melupakan orang lain. Kurikulum ini hanya akan banyak mengajarkan siswa tentang know-how dan bukan know-what apalagi know-why. Pendidikan akan semakin dibawa ke ranah ideologi yang praktikal dengan perlahan-lahan meninggalkan kemampuan manusia untuk berpikir kritis. Sisi kritis yang dikembangkan adalah bukan mengembangkan diri mencari kebenaran, namun kritis dalam menekuni suatu bidang saja. Akibatnya, nilai etis pun akan semakin tergerus oleh kurikulum yang semacam ini.

 

Ideologi, Kesadaran Manusia, dan Kapitalisme

Althusser memang mengatakan bahwa bukan eknomi saja yang menjadi titik penting dari dunia struktur dan supra struktur. Pada perkembangannya saat ini, banyak hal yang lalu dikaitkan erat dengan ekonomi. Banyak orang yang tidak menyadari ini dan baru memahaminya ketika mereka depresi, bahkan banyak pula yang malah menenggelamkan diri dalam kenikmatan dunia tanpa menyadari siapa mereka. Kemunculan ideologi tidak sepenuhnya membunuh eksistensialisme sebagai dasar subjektif kesadaran manusia. Ideologi memang bergerak dalam tatanan ketidaksadaran yang menidakkan kesadaran. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa manusia harus tunduk pada ideologi saja. Ia harus tahu dan berpikir tentang apa yang ada dibalik setiap hal karena tidak ada hal yang hadir begitu saja tanpa ada tujuannya. Kita mungkin tidak bisa lepas dari ideologi, namun berpikir tentang adanya ideologi adalah jalan keluar bagi pembentukan diri yang lebih baik. Dunia sedang penuh dengan modernitas akan segala hal yang instan tanpa memikirkan efek samping dari hal tersebut. Tugas manusia berziarah di bumi ini bukan menenggelamkan diri di dalamnya, namun melampauinya dengan mulai bertanya tentang segalanya.

Ide posmodernisme memang penuh dengan kritik mendasar tentang kehidupan. Ia sekaligus menolak filsafat yang terlalu spekulatif dan tidak menyentuh kehidupan praktis. Para posmodernis lebih mengarahkan kritiknya sebagai solusi atas disorientasi itu sendiri.[16] Meskipun demikian, itu tidaklah cukup dalam mengatasi problem kehidupan. Manusia perlu terus mencari diri sendiri. Kendati manusia tahu ia tidak bisa lepas dari ideologi, namun ia harus terus menemukan ideologi akan kebenaran. Hal ini penting supaya ide akan kebenaran juga akan terus dicari. Jadi bukan hanya sekedar tafsir atas kebenaran saja, namun tafsir itu mesti terus ditelusuri untuk terus memaknai kehidupan secara reflektif baik secara individual maupun dalam tatanan sosial di masyarakat.

 

 

Referensi

Althusser, Louis, 2001, Lenin and Philosophy and other essays, Monthly Review Press:New York

———————, 2010, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies,         (terj.) Jalasutra: Jakarta

Anon, 2013, Kontra dan Pro Kurikulum 2013, (online) dalam http://www.radaronline.co.id/berita/read/24155/2013/Kontra-dan-Pro-Kurikulum-2013, diakses 17 Juni 2013

——-, 2013, SBY: Kurikulum Tentukan  Mutu Pendidikan, (online) dalam http://news.okezone.com/read/2013/04/02/373/785031/sby-kurikulum-tentukan-mutu-pendidikan, diakses 17 Juni 2013

Bertens, Hans dan Joseph Natoli (ed.), 2002, Postmodernism: The Key Figures, Blackwell Pub:Oxford

FX Widyatmoko, 2009, Louis Althusser, Sekilas, (online) dalam http://dgi-indonesia.com/louis-     althusser-sekilas/, diakses 17 Juni 2013

Jameson, Fredric, 1991, Posmodernism Or, The Cultural Logic of Late Capitalism, London:Verso

Lechte, John, 2001, Filsuf Kontemporer Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Kanisius:Yogyakarta

Lewis, William, 2009, Louis Althusser, (online) dalam http://plato.stanford.edu/entries/althusser/#TheIde, diakses 17 Juni 2013

Sugiharto, I. Bambang, 1996, Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius:Yogyakarta

 

 

 


[1] FX Widyatmoko, 2009, Louis Althusser, Sekilas, (online) dalam http://dgi-indonesia.com/louis-althusser-sekilas/, diakses 17 Juni 2013.

[2] William Lewis, 2009, Louis Althusser, (online) dalam http://plato.stanford.edu/entries/althusser/#TheIde, diakses 17 Juni 2013

[3] Hans Bertens dan Joseph Natoli (ed.), 2002, Postmodernism: The Key Figures, Blackwell Pub:Oxford, hal. 11.

[4] Louis Althusser, 2001, Lenin and Philosophy and other essays, Monthly Review Press:New York, hal. 91.

[5] John Lechte, 2001, Filsuf Kontemporer Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Kanisius:Yogyakarta, hal. 66.

[6] Louis Althusser, 2010, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Ctudies, Jalasutra: Jakarta, hal. 19.

[7] Bertens, Op. Cit., hal. 197.

[8] Lechte, Loc. Cit., hal. 70.

[9] Lechte, Op. Cit., hal. 71.

[10] Fredric Jameson, 1991, Posmodernism Or, The Cultural Logic of Late Capitalism, London:Verso, hal. 403.

[11] Althusser, Op. Cit., hal. 52.

[12] Althusser, Op. Cit., hal. 42.

[13] Jameson, Op. Cit., hal. 345.

[14] Anon, 2013, SBY: Kurikulum Tentukan  Mutu Pendidikan, (online) dalam http://news.okezone.com/read/2013/04/02/373/785031/sby-kurikulum-tentukan-mutu-pendidikan, diakses 17 Juni 2013.

[15] Anon, 2013, Kontra dan Pro Kurikulum 2013, (online) dalam http://www.radaronline.co.id/berita/read/24155/2013/Kontra-dan-Pro-Kurikulum-2013, diakses 17 Juni 2013.

[16] I. Bambang Sugiharto, 1996, Posmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius:Yogyakarta, hal. 29.

About rommelpasopati

common people with different uniqueness... ask me to be beyond and nihil... find me in your dreams...

Discussion

No comments yet.

Leave a comment